Seni berorganisasi
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Salam kebebasan berpikir…!
Organisasi. Perlukah kuberikan suatu definisi tentang sesuatu hal yang tidak tabu lagi bagi kita?
Organisasi. Bahkan kita termasuk dalam penggiat-penggiat di dalamnya, benar?
Sering memang orang mengira bahwa manusia hanya bisa bergorganisasi dengan dinaungi suatu wadah atau lembaga lah, bisa dikatakan seperti itu, dan itu dianggap aturan baku mengenai definisi sebuah nama dari:
O-R-G-A-N-I-S-A-S-I. Namun, sadarkah kita bahwa ketika kita sedang sendiri pun ternyata kita sedang berorganisasi. Mengorganisasikan pikiran kita. Mengorganisasikan ide-ide kita, mengorganisasikan harapan-harapn kita, dan sekelumit diri sisanya. Memang, lazimnya (dan kemudian dianggap sebagai aturan baku), bahwa sebuah organisasi tersebut dicirikan oleh gerakan-gerakan tertentu, yang biasanya memfokuskan diri pada hal tertentu yang diwadahi oleh lembaga tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu. Tepat.Jadi lah hal tersebut menjadi makna Organisasi secara harfiah menurut kita.
Organisasi dan Polemiknya
Lantas, bukan hal itu yang kemudian akan saya sikapi di sini. Tentang pembentukan makna, arti harfiah, bagaimana dia bisa mendapat julukan seperti itu, bukan, bukan yang demikian. Saya rasa setiap dari kita sudah mengetahui pasti mengenai hal tersebut. Satu hal yang ingin kuungkap disini adalah mengenai polemik didalamnya yang mungkin berjalan kontradiktif dengan pemikiran dan sifat dasar manusia. Apakah itu? Yuk kita bahas…!
Sering kita mendengar berbagai polemik dan keluhan seputar berorganisasi. Yang kemudian kusebut dengan seni berorganisasi. Yah, disitulah nikmatnya dalam sebuah organisasi. Ketika kepala-kepala jenius berisi otak encer yang konon kapasitasnya melebihi sejuta gygabite, lebih dari sekedar komputer masa depan abad 3 juta setelah millennium pun, dikumpulkan dalam suatu tempat demi membahas sesuatu. Apa yang terjadi? Itulah kemudian yang kita kenal dengan perdebatan. Mulailah kita ambil contoh terkecil dari organisasi sebuah suasana disudut kota tentang seorang penjual sayur yang sedang berorganisasi (tentu, ala tukang sayur dong) dengan ibu-ibu komplek yang ingin menawar, atau kemudian kita melihat kisah para politikus yang dengan berorganisasinya mencitrakan suatu kehidupan yang memenuhi apa yang disebut oleh seorang filsuf sebagai sifat dasar manusia. Homo homini lupus. Atau tentang mahasiswa yang menggorganisasikan kehidupannya dalam sebuah kegiatan akademik atau dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Yah, begitulah. Organisasi.
Dalam sebuah organisasi, kontra dan pro sudah dianggap biasa. Kritik dan saran sudah dianggap sebuah keharusan demi evaluasi sebuah organisasi agar kedepan lebih baik lagi. Pun sebuah pentas perdebatan, dianggap lumrah demi menciptakan sebuah dinamika organisasi. Bikin hidup lebih hidup katanya. Lantas, bagaimana dengan sebuah kritik atau pun saran yang lebih bisa kita anggap sebagai caci maki dan rekomendasi hampa dan mengada-ada. Oh, itu biasa bos. Itulah yang namanya dinamisasi hidup di budaya baru dunia kita. Image Culture. Budaya persepsi yang mengitari dan mungkin mengotori tatanan hidup kita Sudah sah dianggap sesuatu kebutuhan yang hukum Tuhan pun bisa luput dengan culture yang satu ini. Apakah itu? Itulah ketika persepsi tentang sesuatu dianggap benar oleh sekumpulan kemudian dilegalkan menurut pelegalan perkumpulan tersebut, maka benarlah apa yang mereka anggap tersebut. Terlepas dari apakah persepsi tersebut bertentengan dengan hukum Tuhan atau tidak, asal persepsi kita sama ya terhadap yang kita anggap yes, dan tidak terhadap apa yang kita anggap no, lanjut.
So what??
Berkaca dari keadaan tersebut, dimana suara nurani mungkin tidak didengar lagi oleh khalayak. Atau juga koridor norma aturan Tuhan tidak dikenal lagi oleh masyarakat, perlu lah kita mempelajari sesuatu yang baik dari sebuah seni berorganisasi. Mari luruskan bersama apa yang selama ini yang sudah jelas keliru namun tetap kita anggap sebagai suatu kebenaran demi tercapainya my own final destination versi kita. Dua hal yang ingin kuutarakan disini adalah dari sebuah budaya kritik di dunia kita, hingga sebuah aliran yang mempertautkannya, kepercayaan. Berkaca dari sebuah organisasi besar manusia, yang pernah ada dan tetap ada hingga sekarang dan juga tak akan pudar kecemerlangannya, walaupun dinamika-dinamika kehidupan dicipta oleh yang namanya manusia, dari dulu hingga sekarang. Dialah Kehidupan
Budaya Kritik
Suatu kelaziman yang kita anggap sebuah kebutuhan apalagi dalam bentuk sebuah organisasi formal, baik dalam lingkup terkecil, himpunan keluarga sejahtera, atau ikatan kerukunan rumah tangga, atau Badan Eksekutif Mahasiswa sekalipun, bahkan sampai yang terbesar di mata kita, kabinet pemerintahan sebuah Negara kita rasa penting memberikan sebuah kritik. Baik itu terhadap institusi, atau terhadap peimimpinnya, anggotanya, semuanya…deh terlepas dari tujuan memang benar-benar ingin mengevaluasi atau sekadar menjatuhkan. Banyak kemudian kita saksikan buah dari sebuah kritik berbuntut pada sebuah perdebatan yang menghasilkan perseteruan dan akhirnya permusuhan, kalau seperti itu, bolehkah saya sebut sebagai kehancuran akibatnya?
Mengapa demikian?
Ketahuilah bahwa kritik itu adalah hal yang sia-siakarena menempatkan seseorang atau intistusi yang di kritik tersebut pada posisi defensive dan menurut logika sifat dasar manusia, si ter-kritik tersebut akan mempertahankan posisinya. Kritik, seperti apa yang disampaikan oleh Dale Carnegie adalah sesuatu yang berbahaya. Karena melukai rasa kebanggaan, melukai perasaan pentingnya,serta membangkitkan rasa benci. Hingga menimbulkan bantah-bantahan. Bukankah kita dilarang berbantah-bantahan, karena buntutnya hanyalah malapetaka? Ada juga pesan seorang tokoh pergerakan islam kontemporer, Hasan Al Banna Rahimullah, dalam sepuluh wasiatnya yang menyuruh manusia menjauhi dari sebuah perdebatan. Karena hal itu adalah sia-sia. Dengan mengkritik, kita tidak membuat perubahan yang langgeng dan seringkali menimbulkan rasa benci. Adalah seorang Hanse Selye, seorang psikolog besar berkata,”kehausan kita akan persetujuan, sama besarnya dengan ketakutan kita terhadap kritik.” Rasa benci yang ditimbulkan oleh kritik (apalagi sudah yang berbentuk hujatan) tetap tidak bisa memperbaiki terhadap situasi terhadap yang kita kritik. apalagi terhadap kritik yang bersifat tidak memberi solusi sama sekali, dan memang murni menghujat. Tunggulah kebencian itu kemudian mengakar dan beranak pinak. Kita akan menemukan berjuta-juta kesia-siaan kritik dalam lembar-lembar sejarah manusia. Begitulah sifat manusia,mereka yang bersalah menyalahkan orang lain selain mereka sendiri. Memang wajar,ketika disuatu oraganisasi kemudian akan timbul masalah-masalah yang mewarnai kemeriahannya. Tapi apakah lantas kita pantas untuk menyelesaikannya dengan kritik? Coba maknai,bahwa seekor burung mempunyai masalah besar terhadap udara. Tapi dengan udara itulah dia bisa terbang. Meskipun itu menjadi musuh besarnya. Namun disatu sisi udaralah teman dekatnya yang kemudian mengajarkan dia untuk bekerja keras, bukan untuk mengkritik diri sendiri, atau kemudian mengutuk udara, atau malah sang pencipta. Toh dia juga tak bisa terbang tanpa udara. Begitulah maksud saya seharusnya kita memaknai ketika sebuah masalah dating menghantam, bukan suatu langkah yang bijak ketika kita harus menyelesaikannya dengan kritik. Sebab hala itu tidak akan pernah selesai. Yakinlah. .. bahkan akan memperurmit masalah,. Kembali ke kritik, tatkala kita berurusan dengan manusia, mari kita ingat bahwa kita tidak sedang berurusan dengan mahluk logika yang penuh norma, melainkan kita berurusan dengan mahluk yang penuh dengan emosi, mahluk yang penuh prasangka, dan dimotivasi oleh rasa bangga dan sombong. Ingat, pekerjaan mengkritik adalah pekerjaan orang-orang yang bodoh. Orang bodoh sangat mahir mengkritik dan hamper semua orang bodoh melakukannya. Masih mau mengkritik dan menjadikan dirimu orang bodoh? Memang, dalam sesuatu keadaan tertentu sebuah kritik yang kemudian kita perhalus bahasanya menjadi saran diperlukan. Tapi keadaan tersebut akan mendukung dan mencapai tujuannya sebagai rujukan evaluasi jika disampaikan dengan cara yang bijak. Mending belajar membuat kripik, meski sama pedasnya dengan kritik, toh kripik bisa membikin kenyang. Kalau kritik??
Kepercayaan
Satu hal lagi yang sering kita lupakan dalam tatanan seni berorganisasi, padahal inilah kemudian yang menjadi sendi kemajuan sebuah organisasi itu sendiri. Dan tanpa inilah apa yang kita sebut-sebut diatas, kritik, menjadi sebuah perusak jamaah(Organisasi). Oh ya, saya lupa memberitahu ya, kita sering mengaitkan kata jamaah tentang perkumpulan orang-orang alim dengan jubah dan peci, serta tasbih ditangan kiri dan kitab suci ditangan kanan. Bukan, bukan hanya itu sebuah organisasi. Sebuah jamaah, adalah sama dengan apa yang kita sebut dengan organisasi. Kembali ke kepercayaan…
Dalam sebuah tulisannya, Ahmad Zairofi berkata, ”selain undang-undang dan tata tertib,hidup ini dibangun atas kepercayaan. Undang-undang hanya mengatur, mengikat,tap kepercayaanlah yang membuktikannya. Sebab tata tertib hanya merapikan, membuat urut-urutan, tetapi kepercayaanlahyang membuat segalanya bisa berjalan.” Tepat. Pondasi awal dari sebuah organisasi adalah kepercayaan. Sebuah organisasi yang berjalan atas azas kepercyaan Insya Alloh tak akan menemui sebuah halanagan yang berarti. Dingatkanlah kembali kita akan sebuah kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang Umar bin Abdul Aziz dalam memimpin sehingga tercipta sebuah refleksi dari kepercyaan tersebut adalah keadilan tegak di organisasi yang dipimpinnya. Khilafah Islamiyah. Bahkan seekor srigala pun bisa hidup rukun dengan kambing. Dimana seseorang bisa beternak kambing sekaligus memelihara serigala di masa kepemimpinannya. Itulah sebuah potret dari nikmatnya kepercayaan.I miss u. khilafah. kepercayaan jugalah yang kemudian membuat seorang Al Fatih Murad mewujudkan mimpi delapan abad umat muslim. Menaklukkan Konstantinopel. Ada sebuah goresan kepercayaan yang berbekas disana.kepercayaan jualah yang menjadikan kita menjadi manusia yang layak dicintai. Bak sebuah kaitan yang saling mempertautkan, kepercayaan akan melahirkan sebuah tekad untuk menjalankan kepercayaan itu sehingga menjadikan kita layak untuk dicintai. Ya, hanya bila kita bermakna,kita layak untuk dicintai. Dan kta akan bermakna hanya bila kita mwujudkan komitmen yang terptri dalam sebuah janji yang berafiliasi dengan sebuah kepercayaan. Lagi lagi sebuah kepercayaan. Teringatlah kembali kita pada sepotong kisah seorang pencuri yang pada suatu hari menemui Rasulullah. Ia ingin menyatakan dirinya masuk Islam. Setelah itu, ia mengisahkan akan penyaki mentalnya. Bahwa ia suka mencuri.. Lalu Rasul memintanya untuk berjanji, bahwa dirinya tidak akan berbohong.lelaki itu pun berjanji. Kemudian perg menjalani hari-harinya. Beberapa waktu kemudian, keinginan untuk mencurimuncul kembali. Tetapi ia lantas teringat janjinya kepada Rasulullah, bahwa ia tidak bole berbohong. Ia lantas membayangkan, bila ia mencuri, lalu kelak ditanya Rasulullah, maka bila ia berkata bohong, ia telah menyalahi janjinya. Tapi bila ia berterus terang, ia akan mendapatkan hukuman. Sejak itu ia tidak mencuri lagi. Apa yang kita dapat dari sepenggal kisah diatas? Sebuah sebuah pelajaran mengenai arti sebuah kepercayaan. Dan si pencuri telah pula belajar itu, bahkan belajar enjaga dan membuktikannya. Kembali lag ke organisasi, tanamkanlah dalam diri akan tekda untuk membudayakan sebuah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, niscaya akan roboh apapun yang diusung tersebut. Kepercayaanlah yang kemudian melahirkan keikhlasan dan ketulusan, hingga kemudian melahirkan sebuah kecintaan.
“ kepercayaan adalah rahasia hidup yang paling rumit.”
Wallohu a’lam bisshowab…
Kepada para penggiat organisasi, jalani wajihahmu dengan menerapkan kepercayaan sebagai sendi dasar pembangunnya. Semangat!!!
Di sepertiga malam yang dingin datang menusuk…
Salam kebebasan berpikir…!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Sumber : http://ardiabara.multiply.com/journal/item/9/Seni_berorganisasi_
Salam kebebasan berpikir…!
Organisasi. Perlukah kuberikan suatu definisi tentang sesuatu hal yang tidak tabu lagi bagi kita?
Organisasi. Bahkan kita termasuk dalam penggiat-penggiat di dalamnya, benar?
Sering memang orang mengira bahwa manusia hanya bisa bergorganisasi dengan dinaungi suatu wadah atau lembaga lah, bisa dikatakan seperti itu, dan itu dianggap aturan baku mengenai definisi sebuah nama dari:
O-R-G-A-N-I-S-A-S-I. Namun, sadarkah kita bahwa ketika kita sedang sendiri pun ternyata kita sedang berorganisasi. Mengorganisasikan pikiran kita. Mengorganisasikan ide-ide kita, mengorganisasikan harapan-harapn kita, dan sekelumit diri sisanya. Memang, lazimnya (dan kemudian dianggap sebagai aturan baku), bahwa sebuah organisasi tersebut dicirikan oleh gerakan-gerakan tertentu, yang biasanya memfokuskan diri pada hal tertentu yang diwadahi oleh lembaga tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu. Tepat.Jadi lah hal tersebut menjadi makna Organisasi secara harfiah menurut kita.
Organisasi dan Polemiknya
Lantas, bukan hal itu yang kemudian akan saya sikapi di sini. Tentang pembentukan makna, arti harfiah, bagaimana dia bisa mendapat julukan seperti itu, bukan, bukan yang demikian. Saya rasa setiap dari kita sudah mengetahui pasti mengenai hal tersebut. Satu hal yang ingin kuungkap disini adalah mengenai polemik didalamnya yang mungkin berjalan kontradiktif dengan pemikiran dan sifat dasar manusia. Apakah itu? Yuk kita bahas…!
Sering kita mendengar berbagai polemik dan keluhan seputar berorganisasi. Yang kemudian kusebut dengan seni berorganisasi. Yah, disitulah nikmatnya dalam sebuah organisasi. Ketika kepala-kepala jenius berisi otak encer yang konon kapasitasnya melebihi sejuta gygabite, lebih dari sekedar komputer masa depan abad 3 juta setelah millennium pun, dikumpulkan dalam suatu tempat demi membahas sesuatu. Apa yang terjadi? Itulah kemudian yang kita kenal dengan perdebatan. Mulailah kita ambil contoh terkecil dari organisasi sebuah suasana disudut kota tentang seorang penjual sayur yang sedang berorganisasi (tentu, ala tukang sayur dong) dengan ibu-ibu komplek yang ingin menawar, atau kemudian kita melihat kisah para politikus yang dengan berorganisasinya mencitrakan suatu kehidupan yang memenuhi apa yang disebut oleh seorang filsuf sebagai sifat dasar manusia. Homo homini lupus. Atau tentang mahasiswa yang menggorganisasikan kehidupannya dalam sebuah kegiatan akademik atau dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Yah, begitulah. Organisasi.
Dalam sebuah organisasi, kontra dan pro sudah dianggap biasa. Kritik dan saran sudah dianggap sebuah keharusan demi evaluasi sebuah organisasi agar kedepan lebih baik lagi. Pun sebuah pentas perdebatan, dianggap lumrah demi menciptakan sebuah dinamika organisasi. Bikin hidup lebih hidup katanya. Lantas, bagaimana dengan sebuah kritik atau pun saran yang lebih bisa kita anggap sebagai caci maki dan rekomendasi hampa dan mengada-ada. Oh, itu biasa bos. Itulah yang namanya dinamisasi hidup di budaya baru dunia kita. Image Culture. Budaya persepsi yang mengitari dan mungkin mengotori tatanan hidup kita Sudah sah dianggap sesuatu kebutuhan yang hukum Tuhan pun bisa luput dengan culture yang satu ini. Apakah itu? Itulah ketika persepsi tentang sesuatu dianggap benar oleh sekumpulan kemudian dilegalkan menurut pelegalan perkumpulan tersebut, maka benarlah apa yang mereka anggap tersebut. Terlepas dari apakah persepsi tersebut bertentengan dengan hukum Tuhan atau tidak, asal persepsi kita sama ya terhadap yang kita anggap yes, dan tidak terhadap apa yang kita anggap no, lanjut.
So what??
Berkaca dari keadaan tersebut, dimana suara nurani mungkin tidak didengar lagi oleh khalayak. Atau juga koridor norma aturan Tuhan tidak dikenal lagi oleh masyarakat, perlu lah kita mempelajari sesuatu yang baik dari sebuah seni berorganisasi. Mari luruskan bersama apa yang selama ini yang sudah jelas keliru namun tetap kita anggap sebagai suatu kebenaran demi tercapainya my own final destination versi kita. Dua hal yang ingin kuutarakan disini adalah dari sebuah budaya kritik di dunia kita, hingga sebuah aliran yang mempertautkannya, kepercayaan. Berkaca dari sebuah organisasi besar manusia, yang pernah ada dan tetap ada hingga sekarang dan juga tak akan pudar kecemerlangannya, walaupun dinamika-dinamika kehidupan dicipta oleh yang namanya manusia, dari dulu hingga sekarang. Dialah Kehidupan
Budaya Kritik
Suatu kelaziman yang kita anggap sebuah kebutuhan apalagi dalam bentuk sebuah organisasi formal, baik dalam lingkup terkecil, himpunan keluarga sejahtera, atau ikatan kerukunan rumah tangga, atau Badan Eksekutif Mahasiswa sekalipun, bahkan sampai yang terbesar di mata kita, kabinet pemerintahan sebuah Negara kita rasa penting memberikan sebuah kritik. Baik itu terhadap institusi, atau terhadap peimimpinnya, anggotanya, semuanya…deh terlepas dari tujuan memang benar-benar ingin mengevaluasi atau sekadar menjatuhkan. Banyak kemudian kita saksikan buah dari sebuah kritik berbuntut pada sebuah perdebatan yang menghasilkan perseteruan dan akhirnya permusuhan, kalau seperti itu, bolehkah saya sebut sebagai kehancuran akibatnya?
Mengapa demikian?
Ketahuilah bahwa kritik itu adalah hal yang sia-siakarena menempatkan seseorang atau intistusi yang di kritik tersebut pada posisi defensive dan menurut logika sifat dasar manusia, si ter-kritik tersebut akan mempertahankan posisinya. Kritik, seperti apa yang disampaikan oleh Dale Carnegie adalah sesuatu yang berbahaya. Karena melukai rasa kebanggaan, melukai perasaan pentingnya,serta membangkitkan rasa benci. Hingga menimbulkan bantah-bantahan. Bukankah kita dilarang berbantah-bantahan, karena buntutnya hanyalah malapetaka? Ada juga pesan seorang tokoh pergerakan islam kontemporer, Hasan Al Banna Rahimullah, dalam sepuluh wasiatnya yang menyuruh manusia menjauhi dari sebuah perdebatan. Karena hal itu adalah sia-sia. Dengan mengkritik, kita tidak membuat perubahan yang langgeng dan seringkali menimbulkan rasa benci. Adalah seorang Hanse Selye, seorang psikolog besar berkata,”kehausan kita akan persetujuan, sama besarnya dengan ketakutan kita terhadap kritik.” Rasa benci yang ditimbulkan oleh kritik (apalagi sudah yang berbentuk hujatan) tetap tidak bisa memperbaiki terhadap situasi terhadap yang kita kritik. apalagi terhadap kritik yang bersifat tidak memberi solusi sama sekali, dan memang murni menghujat. Tunggulah kebencian itu kemudian mengakar dan beranak pinak. Kita akan menemukan berjuta-juta kesia-siaan kritik dalam lembar-lembar sejarah manusia. Begitulah sifat manusia,mereka yang bersalah menyalahkan orang lain selain mereka sendiri. Memang wajar,ketika disuatu oraganisasi kemudian akan timbul masalah-masalah yang mewarnai kemeriahannya. Tapi apakah lantas kita pantas untuk menyelesaikannya dengan kritik? Coba maknai,bahwa seekor burung mempunyai masalah besar terhadap udara. Tapi dengan udara itulah dia bisa terbang. Meskipun itu menjadi musuh besarnya. Namun disatu sisi udaralah teman dekatnya yang kemudian mengajarkan dia untuk bekerja keras, bukan untuk mengkritik diri sendiri, atau kemudian mengutuk udara, atau malah sang pencipta. Toh dia juga tak bisa terbang tanpa udara. Begitulah maksud saya seharusnya kita memaknai ketika sebuah masalah dating menghantam, bukan suatu langkah yang bijak ketika kita harus menyelesaikannya dengan kritik. Sebab hala itu tidak akan pernah selesai. Yakinlah. .. bahkan akan memperurmit masalah,. Kembali ke kritik, tatkala kita berurusan dengan manusia, mari kita ingat bahwa kita tidak sedang berurusan dengan mahluk logika yang penuh norma, melainkan kita berurusan dengan mahluk yang penuh dengan emosi, mahluk yang penuh prasangka, dan dimotivasi oleh rasa bangga dan sombong. Ingat, pekerjaan mengkritik adalah pekerjaan orang-orang yang bodoh. Orang bodoh sangat mahir mengkritik dan hamper semua orang bodoh melakukannya. Masih mau mengkritik dan menjadikan dirimu orang bodoh? Memang, dalam sesuatu keadaan tertentu sebuah kritik yang kemudian kita perhalus bahasanya menjadi saran diperlukan. Tapi keadaan tersebut akan mendukung dan mencapai tujuannya sebagai rujukan evaluasi jika disampaikan dengan cara yang bijak. Mending belajar membuat kripik, meski sama pedasnya dengan kritik, toh kripik bisa membikin kenyang. Kalau kritik??
Kepercayaan
Satu hal lagi yang sering kita lupakan dalam tatanan seni berorganisasi, padahal inilah kemudian yang menjadi sendi kemajuan sebuah organisasi itu sendiri. Dan tanpa inilah apa yang kita sebut-sebut diatas, kritik, menjadi sebuah perusak jamaah(Organisasi). Oh ya, saya lupa memberitahu ya, kita sering mengaitkan kata jamaah tentang perkumpulan orang-orang alim dengan jubah dan peci, serta tasbih ditangan kiri dan kitab suci ditangan kanan. Bukan, bukan hanya itu sebuah organisasi. Sebuah jamaah, adalah sama dengan apa yang kita sebut dengan organisasi. Kembali ke kepercayaan…
Dalam sebuah tulisannya, Ahmad Zairofi berkata, ”selain undang-undang dan tata tertib,hidup ini dibangun atas kepercayaan. Undang-undang hanya mengatur, mengikat,tap kepercayaanlah yang membuktikannya. Sebab tata tertib hanya merapikan, membuat urut-urutan, tetapi kepercayaanlahyang membuat segalanya bisa berjalan.” Tepat. Pondasi awal dari sebuah organisasi adalah kepercayaan. Sebuah organisasi yang berjalan atas azas kepercyaan Insya Alloh tak akan menemui sebuah halanagan yang berarti. Dingatkanlah kembali kita akan sebuah kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang Umar bin Abdul Aziz dalam memimpin sehingga tercipta sebuah refleksi dari kepercyaan tersebut adalah keadilan tegak di organisasi yang dipimpinnya. Khilafah Islamiyah. Bahkan seekor srigala pun bisa hidup rukun dengan kambing. Dimana seseorang bisa beternak kambing sekaligus memelihara serigala di masa kepemimpinannya. Itulah sebuah potret dari nikmatnya kepercayaan.I miss u. khilafah. kepercayaan jugalah yang kemudian membuat seorang Al Fatih Murad mewujudkan mimpi delapan abad umat muslim. Menaklukkan Konstantinopel. Ada sebuah goresan kepercayaan yang berbekas disana.kepercayaan jualah yang menjadikan kita menjadi manusia yang layak dicintai. Bak sebuah kaitan yang saling mempertautkan, kepercayaan akan melahirkan sebuah tekad untuk menjalankan kepercayaan itu sehingga menjadikan kita layak untuk dicintai. Ya, hanya bila kita bermakna,kita layak untuk dicintai. Dan kta akan bermakna hanya bila kita mwujudkan komitmen yang terptri dalam sebuah janji yang berafiliasi dengan sebuah kepercayaan. Lagi lagi sebuah kepercayaan. Teringatlah kembali kita pada sepotong kisah seorang pencuri yang pada suatu hari menemui Rasulullah. Ia ingin menyatakan dirinya masuk Islam. Setelah itu, ia mengisahkan akan penyaki mentalnya. Bahwa ia suka mencuri.. Lalu Rasul memintanya untuk berjanji, bahwa dirinya tidak akan berbohong.lelaki itu pun berjanji. Kemudian perg menjalani hari-harinya. Beberapa waktu kemudian, keinginan untuk mencurimuncul kembali. Tetapi ia lantas teringat janjinya kepada Rasulullah, bahwa ia tidak bole berbohong. Ia lantas membayangkan, bila ia mencuri, lalu kelak ditanya Rasulullah, maka bila ia berkata bohong, ia telah menyalahi janjinya. Tapi bila ia berterus terang, ia akan mendapatkan hukuman. Sejak itu ia tidak mencuri lagi. Apa yang kita dapat dari sepenggal kisah diatas? Sebuah sebuah pelajaran mengenai arti sebuah kepercayaan. Dan si pencuri telah pula belajar itu, bahkan belajar enjaga dan membuktikannya. Kembali lag ke organisasi, tanamkanlah dalam diri akan tekda untuk membudayakan sebuah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, niscaya akan roboh apapun yang diusung tersebut. Kepercayaanlah yang kemudian melahirkan keikhlasan dan ketulusan, hingga kemudian melahirkan sebuah kecintaan.
“ kepercayaan adalah rahasia hidup yang paling rumit.”
Wallohu a’lam bisshowab…
Kepada para penggiat organisasi, jalani wajihahmu dengan menerapkan kepercayaan sebagai sendi dasar pembangunnya. Semangat!!!
Di sepertiga malam yang dingin datang menusuk…
Salam kebebasan berpikir…!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Sumber : http://ardiabara.multiply.com/journal/item/9/Seni_berorganisasi_
Date: Minggu, 18 Juli 2010